Senin, 15 Oktober 2012

BANG YOS dan DKI JAKARTA

BANG YOS dan DKI JAKARTA


Dalam sejarah pemerintahan DKI Jakarta, boleh jadi, perwira tinggi bintang tiga dari Pasukan Komando, kelahiran Semarang 6 Desember 1944, merupakan gubernur yang paling repot selama memimpin Jakarta. Banyak kalangan memberikan penilaian seperti itu kepada mantan Danrerm Suryakencana – Bogor yang meraih predikat “terbaik” se Indonesia, dan Pangdam Jaya ini.

Sebab tak ada seorang pun dari para pemimpin Pemerintah DKI Jakarta –dari masa Walikota hingga era Gubernur—yang sempat merasakan warna warni kepemimpinan yang unik sepert dialami Sutiyoso.

Betapa tidak, Pada lima tahun pertama, ia terus menerus menghadapi sosial politik yang berat dan rumit. Gejolak politik tanpa henti, pemerintahan silih berganti menjadikan Sutiyoso satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang pernah merasakan kepemimpinan 5(lima) orang presiden, yakni Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Baru setahun mengemban tanggung jawab sebagai gubernur, Bang Yos sudah dihadapkan pada pemandangan memilukan. Yakni ketika terjadi kerusuhan massal yang menghanguskan kota Jakarta di tahun 1998 yang juga disertai serangkaian aksi perusakan, penjarahan bahkan pemerkosaan. Tentu, belum lagi situasi mencekam saat peristiwa Semanggi I dan II, yang mengharuskan Bang Yos menerapkan langkah darurat, pemberlakukan “jam malam” di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Pada hal disaat yang sama, terdapat sejumlah masalah sosial politik yang pelik menuntut pemecahan, seperti membengkaknya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal, melambungnya harga barang-barang kebutuhan pokok, merosotnya daya beli masyarakat karena nilai tukar rupiah melemah, dan sebagainya.

Tapi seperti sering dikemukakannya dibanyak kesempatan, semua masalah tersebut harus ia hadapi dengan lapang dada, sebagai konsekuensi panggilan tugas. Diakuinya, sebenarnya ia tidak pernah bermimpi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sejak usia muda, Sutiyoso hanya bercita-cita menjadi tentara. Karena itu jabatan yang paling diimpikannya justru Panglima TNI. Tapi, perintah dari Panglima Tertinggi, agar ia menjadi Gubernur Jakarta maka tentu tak bisa mengelak.
Diakuinya, hati terasa bergejolak ketika kemudian ia harus melipat dan lalu menyimpan pakaian seragam serta atribut militer, karena pada hari-hari berikutnya sudah tampil sebagai warga sipil. Tapi, lagi-lagi ia tertantang memasuki medan pengabdian baru yang tetap memberikan kesempatan baginya mengabdi demi nusa dan bangsa.

Masa bhakti lima tahun pertama berlalu, dan pada tahun 2002, DPRD DKI Jakarta kembali memilih Bang Yos sebagai gubernur untuk lima tahun berikutnya, dan kali ini ia berpasangan dengan Dr. Ing Fauzi Bowo yang sebelumnya menjabat Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta. Terjalinnya pasangan Sutoyoso –Fauzi Bowo, figur birokrat profesional yang sudah puluhan tahun meniti karir di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta tentu menjelaskan bahwa Bang Yos sepenuhnya telah menjadi bagian dari keluarga besar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Seiring kondisi sosial politik semakin membaik, di bawah pimpinan Bang Yos – Bang Foke, berbagai upaya memperbaiki kehidupan masyarakat pun terus bergulir. Ia tampak amat menyadari, bahwa penguatan potensi masyarakat adalah kunci keberhasilan pembangunan ibukota. Karena itu, prpgram-program yang mendorong pemberdayaan rakyat terus dilakukan.

Salah satu diantaranya adalah PPMK (Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan), yang manfaatnya semakin banyak dirasakan oleh kalangan wong cilik. Pembebasan biaya pendidikan bagi usia sekolah dasar, layanan pembuatan KTP gratis, peningkatan kesejahteraan bagi para guru, adalah sebagian dari program Pemprov DKI Jakarta dimaksud.

Sedangkan untuk membantu para Pengurus RT-RW dalam menjalankan fungsi sosialnya sehari-hari, pemerintah memberikan sedikit dana tunjangan, kendati besarannya tentu masih jauh dari memadai. Tampaknya, bagi Sutiyoso, peran partisipasi masyarakat baik pada penentuan kebijakan mau pun pelaksanaan pembangunan di tingkat “basis” dipandang sebagai hal mutlak. Karena itu, dibentuk lembaga Dewan Kelurahan untuk mewadahi partisipasi masyarakat di tingkat kelurahan.
Mengikuti pemberitaan pers, tampak salah satu masalah yang paling sering digugat beberapa kalangan terhadap kepemimpinan Bang Yos saat menjabat Gubernur Jakarta adalah banjir. Sutoyoso justru menanggapi positif gugatan itu. Bahkan ia minta agar warga Jakarta selalu kritis dan memberikan masukan kepadanya.

Peristiwa Banjir tahun 2002, misalnya, telah melambungkan namanya sehingga pers menyebutnyas sebagai “gubernur terpopuler se Indonesia.” Hal sama juga kembali terulang, saat Jakarta dilanda banjir beberapa tahun berikutnya.

Dengan tegas diakuinya banjir di Jakarta tidak dapat ditanggulangi oleh Pemprov DKI sendiri tanpa bantuan pemerintah pusat. Bahaya banjir di Jakarta, sampai kapan pun tak bakal teratasi jika tidak membangun sistem drainase yang sempurna. Dan untuk mengatasi bahaya banjir dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal.

Sejak jaman VOC, Jakarta memang jadi langganan banjir. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi komitmen Gubernur Sutiyoso untuk berusaha mengatasi masalah banjir. Salah satu langkah yang telah ditempuhnya adalah membangun Banjir Kanal Timur. Selain itu, ia juga merencanakan pembangunan terowongan bawah tanah seperti telah dilakukan di beberapa kota besar seperti Hongkong, Kuala Lumpur, Singapura, dan Chicago.

Dibidang pembinaan mental spiritual, Bang Yos melakukan terobosan dengan menyulap daerah Kramat Tunggak, Jakarta Utara menjadi Islamic Center, salah satu pusat kegiatan Islam paling megah yang ditangani Pemda DKI. Tempat pelacuran Kramat Tunggak ia tutup.

Untuk mengatasi masalah transportasi, Bang Yos membangun busway, meniru proyek yang sama di Bogotta, ibukota Kolombia
Celakanya, ia pun terus dikritik karena konon akibat dibangun buswayi jalan-jalan di Ibu Kota menjadi semakin macet. Namun belakangan banyak kalangan memuji kebijakannnya ini karena banyak membantu rakyat kecil pengguna jalan. Namun oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda), ia justru dinobatkan sebagai Bapak Pembaruan Transportasi, sebab dinilai mampu secara revolusioner mengatasi masalah transportasi di Jakarta melalui konsep Pola Transportasi Makro (TPM).

Pola TPM yang di antaranya melahirkan busway terbukti telah banyak mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan massal. Ada yang berpendapat bahwa busway sepertinya pengganti trem yang beroperasi sampai tahun 1960.


Gubernur Sutiyoso amat menyadari, pentingnya arti kesehatan bagi sebuah kota. Agar kota jadi sehat maka perlu ‘paru-paru kota’, karena itu ia mengingingkan agar dari wilayah seluas Jakarta sekitar 66.000 hektare, 14 persen adalah daerah hijau royo-royo atau sekitar 9.240 hektare lahan hijau.

Kini kendati baru delapan persen, konon penghijauannya lebih baik dari Bandung, yang pada masa kolonial Belanda dijuluki ‘Parijs van Java’. Reaksi keras dari banyak kalangan pun muncul ketika Gubernur Sutiyoso mengeluarkan kebijakan pemagaran Taman Monas, lapangan terbesar dan terluas di dunia itu. Namun kini kritik berubah jadi pujian setelah, Monas tertata rapi dan merupakan salah satu tempat rekreasi paling digandrungi masyarakat. Tiap hari tidak kurang dari delapan ribu orang mendatanginya. Bahkan pada hari-hari libur, bisa mencapai 20 - 25 ribu orang. Mereka datang untuk rekreasi sambil olah raga.

Prinsip Bang Yos, setiap tugas harus dilaksanakan sebaik mungkin, namun sebagai manusia biasa ia siap dikritik bila dianggap melakukan kesalahan. Untuk mengurangi banjir, ia selalu berusaha memperluas kawasan hutan kota. Itu untuk resapan air, sebab bila tidak, dipastikan pada saatnya, kawasan Stadion Gelora Bung Karno yang merupakan stadion terbesar di dunia ketika awal dibangun, akan tenggelam.

Menurut Bang Yos, Jakarta seyogyanya dikembangkan sesuai dengan konsep awalnya yakni sebagai kota taman (garden city). Taman-taman untuk tempat masyarakat berinteraksi harus diperbanyak. Salah satu taman yindah yang dibangun menjelang akhir masa jabatannya adalah Taman Menteng, yang kini selalu ramai pengunjung. Taman tersebut dibangun di atas lahan bekas stadion Menteng, sehinga ia diprotes oleh beberapa pihak karena dianggap mengorbankan kepentingan pembinaan olah raga.


Pun demikian, Bang Yos jalan terus. Bahkan untuk mengejar target yang dipatok Sutiyoso menjadikan Jakarta ‘ijo royo-royo’, Pemprov DKI Jakarta akan menanam 115 ribu pohon produksi di seluruh wilayah Jakarta.

Pohon-pohon yang akan ditanam adalah pohon jenis produktif setinggi dua sampai dua setengah meter. Seperti mangga, jambu, rambutan, belimbing, jeruk, dan durian. Sampai tahun 1970′an, kampung-kampung di pinggiran Jakarta melimpah dengan buah-buahan. Durian dan jeruk sudah merupakan pohon langka, hingga kita mengimpor durian montong dan jeruk dalam jumlah berlimpah.

Bang Yos juga menerima penghargaan internasional atas jasa-jasanya dalam mendorong terciptanya udara bersih. Tak kurang ratusan negara yang bertemu di Yogyakarta menganugerahkan gelar “pahlawan udara” kepadanya (Paulus Londo)